Minggu, 27 Januari 2013

Perkembangan Sistem Pembayaran


Pertumbuhan ekonomi di dunia yang kian meningkat dari tahun ke tahun, memberikan dampak terhadap peningkatan perekonomian di Indonesia setiap tahunnya. Kegiatan ekonomi yang selalu meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah konsumsi swasta domestik, walaupun kegiatan investasi dan perdagangan internasional juga memberikan pengaruh baik pada pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Menurut sebuah laporan di situs resmi Bank Indonesia, kegiatan ekonomi selama tahun 2012 sangat berpengaruh terhadap aktivitas sistem pembayaran. Terjadi peningkatan pada nilai transaksi transfer dana melalui sistem pembayaran dibandingkan tahun sebelumnya. Nilai transaksi pembayaran tahun 2012 adalah sebesar 58.05 ribu triliun atau meningkat hingga 27.8% dibanding tahun 2009. Sedangkan volume transaksi pembayaran mencapai 2.14 miliyar transaksi atau meningkat hingga 15.46%.

Sebelum melangkah lebih jauh mengenai laporan sistem pembayaran ini, ada baiknya mengetahui sistem pembayaran itu sendiri.

Sistem pembayaran adalah sistem yang mencakup seperangkat aturan, lembaga, dan mekanisme yang dipakai untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi. Setelah adanya barang harus ada alat pembayaran dan ada mekanisme kliring hingga penyelesaian akhir (settlement). Inilah komponen dari sistem pembayaran. Selain itu ada pula komponen lain seperti lembaga yang terlibar dalam menyelenggarakan sistem pembayaran. Lembaga itu adalah bank, lembaga keuangan selain bank, lembaga bukan bank sebagai penyelenggara transfer dana, perusahaan switching, dan bank sentral. Penjelasan mengenai sistem pembayaran bisa dilihat disini.

Peningkatan sistem pembayaran yang begitu pesat harus didukung dengan inovasi baru dalam sistem pembayaran dari perkembangan teknologi informasi. Tujuannya adalah untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi masyarakat pengguna. Namun, kebijakan dari Bank Indonesia juga diperlukan untuk selalu menjaga dan meningkatkan keamanan dan efisiensi dalam penyelenggaraan sistem pembayaran dengan tetap memperhatikan pemenuhan aspek perlindungan konsumen. Tak lupa penguatan dari sisi infrastruktur menjadi fokus utama dalam pengembangan sistem pembayaran.

Kebijakan penguat infrastruktur untuk meningkatkan keamanan dan efisiensi sistem pembayaran ditempuh oleh Bank Indonesia melalui beberapa pengembangan. Pengembangan tersebut antara lain, pengembangan mekanisme Payment versus Payment (PvP) pada Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlment (Sistem BI-RTGS), enhancement Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) melalui penyempurnaan implementasi close to real time Failure to Settle (FtS) pada mekanisme kliring debet dan persiapan penyusunan standa nasional utnuk kartu ATM/Debet berbasis chip, dan inisiasi penyusunan standar nasional uang elektronik.

Dalam sistem pembayaran, pihak konsumen harus diperhatikan dengan baik. Hal ini karena konsumen selalu melakukan transfer dana atau melakukan pembayaran dimanapun. Untuk itu haruslah dibuat suatu kebijakan untuk konsumen agar tercipta kenyamanan. Dilihat dari sisi pengawasan sistem pembayaran, pada periode laporan dalam situs resmi Bank Indonesia telah dilakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan sistem pembayaran. Objeknya adalah sistem yang dikatagorikan sebagai Systemically Important Payment Systems (SIPS) maupun non SIPS.

Sumber:
http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Sistem+Pembayaran/Perkembangan+Sistem+Pembayaran/lsppu2010_28032011.htm
http://www.bi.go.id/web/id/Sistem+Pembayaran/Sistem+Pembayaran+di+Indonesia/Sekilas/


Sistem Pembayaran


Siapa yang tak mengenal uang? Uang adalah salah satu alat pembayaran yang dipakai oleh setiap orang di dunia ini. Dulu kita mengenal barter sebagai alat pembayaran. Namun, sekarang sudah berkembang pesat mulai dari uang kertas hingga kartu ATM. Uang atau alat pembayaran lainnya adalah sebuah komponen dari sistem pembayaran. Kita mengenal alat pembayaran tersebut namun tidak begitu mengetahui tentang sistem pembayaran. Apakah sistem pembayaran? Dan apa saja sistem pembayaran itu?

Sistem pembayaran adalah sistem yang mencakup seperangkat aturan, lembaga, dan mekanisme yang dipakai untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi. Setelah adanya barang harus ada alat pembayaran dan ada mekanisme kliring hingga penyelesaian akhir (settlement). Inilah komponen dari sistem pembayaran. Selain itu ada pula komponen lain seperti lembaga yang terlibar dalam menyelenggarakan sistem pembayaran. Lembaga itu adalah bank, lembaga keuangan selain bank, lembaga bukan bank sebagai penyelenggara transfer dana, perusahaan switching, dan bank sentral.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa alat pembayaran berkembang sangat pesat. Dalam perkembangannya, setelah barter muncul satuan tertentu yang memiliki nilai pembayaran yaitu uang. Selanjutnya berkembang dari alat pembayaran tunai (Cash Based) ke alat pembayaran non tunai (Non Cash) seperti alat pembayaran berbasis kertas (Paper Based) seperti cek dan bilyet giro. Selain itu ada juga paperles yaitu transfer dana elektronik dan alat pembayaran menggunakan kartu (Card-Based) seperti ATM, kartu kredit, kartu prabayar.

Alat Pembayaran Tunai
Alat pembayaran tunai lebih banyak memakai uang kartal (Kertas dan Logam). Uang kartal menjadi alat pembayaran utama khususnya untuk transaksi bernilai kecil. Jaman sekarang, pemakaian alat pembayaran tunai lebih kecil dibanding uang giral. Pada tahun 2005, perbandingan uang kartal terhadap jumlah uang beredar sebesar 43.3%. Namun, pemakaian uang kartal memiliki kendala dalam hal efisiensi. Seperti halnya cas handling atau pengelolaah uang terbilang mahal. Belum lagi memperhitungkan inefisiensi dalam waktu pembayaran. Misalnya, kita melakukan pembayaran di loket pembayaran yang pada saat itu terdapat antrean yang cukup panjang. Sehingga akan memkan waktu untuk membayar apa yang kita ingin bayar. Sedangkan membayar dalam jumlah besar, akan memakan banyak risiko untuk melakukan pembayaran.

Dikarenakan hal tersebut, Bank Indonesia berinisiatif akan membuat masyarakat terbiasa memakai alat pembayaran non tunai atau Less Cash Society (LCS).

Alat Pembayaran Non Tunai
Awalnya masyarakat tidak begitu percaya dengan alat pembayaran non tunai. Masyarakat beranggapan bahwa uang kartal lebih real dan mereka bisa mengontrolnya secara nyata. Berbeda dengan uang non tunai yang tidak terlihat. Padahal alat pembayaran non tunai ini mempunyai risiko yang kecil walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa uang tersebut akan hilang atau kerugian lainnya. Namun risikonya sangat kecil.

Jaman sekarang, masyarakat khususnya masyarakat menengah keatas lebih sering menggunakan alat pembayaran non tunai. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa jasa pembayaran non tunai yang dilakukan bank maupun lembaga selain bank—baik dalam proses pengiriman dana, penyelenggaraan kliring maupun sistem penyelesaian akhir—sudah tersedia dan dapat berlangsung di Indonesia. Transaksi pembayaran non tunai dengan nilai besar diselenggarakan sistem BI-RTGS (Real Time Gross Settlement) dan sistem kliring.

Perlu diketahui bahwa BI bukan semata peduli dengan terciptanya efisiensi dalam sistem pembayaran, tetapi juga kesetaraan akses hingga ke urusan perlindungan konsumen. Terciptanya sistem pembayaran itu artinya memberi kemudahan pada konsumen untuk memilih metode pembayaran yang dapat diakses ke seluruh wilayah dengan biaya serendah mungkin. Sementara kesetaraan akses adalah BI akan memperhatikan penerapan asas kesetaraan dalam menyelenggarakan sistem pembayaran. Sedangkan aspek perlindungan konsumen dimaksudkan kepada penyelenggara yang wajib mengadopsi asas-asas perlindungan konsumen secara wajar dalam menyelenggarakan sistemnya.

Sumber:
http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Sistem+Pembayaran/Perkembangan+Sistem+Pembayaran/lsppu2010_28032011.htm
http://www.bi.go.id/web/id/Sistem+Pembayaran/Sistem+Pembayaran+di+Indonesia/Sekilas/

BPR Menjadi Perhatian OJK


Sebelum mengetahui mengapa BPR harus menjadi prioritas OJK, Anda harus mengenal OJK terlebih dahulu. Mungkin terlihat asing untuk orang biasa. OJK atau Orientasi Jasa Keuangan adalah sebuah lembaga pengawasan jasa keuangan seperti industri perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun, dan asuransi. Tugas dari OJK ini sendiri adalah melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, sektor Pasar Modal, dan sektor IKNB. Sedangkat fungsinya adalah menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan.

Tujuan OJK dibentuk agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan :
  1. Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel.
  2. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil.
  3. Mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat.

Lalu mengapa OJK diharapkan memperhatikan BPR? Persatuan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) beranggapan bahwa pasca terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) disinyalir akan memiliki beberapa isu erat kaitanya dengan BPR yang ada di Indonesia. Bahkan, Perbarindo beharap agar OJK bisa melakukan fungsi dan tugasnya dengan baik dalam mengawasi BPR di Indonesia.

Apakah isu tersebut?

Menurut mereka ada tujuh isu yang harus diperhatikan agar OJK bisa berjalan dengan baik dalam mengawasi lembaga jasa keuangan, secara khusus BPR. Pertama, prinsip utama pengalihan bank ke OJK jangan sampai ada guncangan di bank, khususnya di BPR. Kedua, pengawasan terhadap bank kini berpindah ke OJK, tentu ini menjadi sebuah isu strategis. Ketiga, pengawasan BI di daerah harus mulai dikaji ketika OJK melakukan fungsi da tugasnya.

Keempat, harus ada pembangunan infrastruktur. Kelima, adanya struktur yang jelas didalam OJK. Keenam, adanya koordinasi sinergi antarindustri pasca terbentuknya OJK. Ketujuh, karakteristik BPR jelas berbeda dengan bank pada umumnya, sehingga diperlukan orang yang memiliki skill dan pengalaman yang baik dalam menjalankan fungsi OJK sebagai pengawas lembaga keuangan.

Itulah hal-hal yang berkaitan antar OJK dan BPR. Menurut Perbarindo, OJK harus memperhatikan BPR karena BPR bukan bank seperti pada umumnya. Dan BPR sangat butuh perhatian mengenai SDM yang mengelolanya. Jangan sampai BPR menjadi lembaga keuangan yang merugikan masyarakat.

Sumber:
http://www.ojk.go.id/App/ContentPage.aspx?Guid=78BAFBEA-00B4-4FF1-8FA2-1DF8E7D2F9EE
http://www.tugaaaass.blogspot.com

Kartu Kredit Syariah


Kartu kredit merupakan salah satu dari beberapa alat pembayaran di dunia. Berbeda dengan kartu debet yang mengharuskan nasabah untuk menabung terlebih dahulu sebelum transaksi, kartu kredit justru melakukan transaksi dahulu lalu membayar semua jumlah transaksi yang Anda lakukan. Menurut  Undang-Undang nomor 21 Tahun 2008 Bab I Pasal 1, Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.

Dalam bank konvensional, kartu kredit akan dikenakan biaya tambahan perbulan yaitu bunga. Bunga yang diberikan sekitar 3% hingga 4% tergantung pada bank yang bersangkutan. Sedangkan bank syariah tidak dikenakan bunga sama sekali. Benarkah demikian? Lalu apa saja pro kontra dari kartu kredit syariah ini? Dan apakah yang ditawarkan bank syariah kepada nasabahnya?

Perkembangan kartu kredit semakin pesat. Diketahui bahwa terdapat lebih dari 12 juta kartu kredit yang beredar hingga tahun 2010 dari 21 bank yang menerbitkannya. Setidaknya ada 2 bank syariah yang menerbitkan kartu kredit syariah yaitu BNI dan Bank Danamon. Lalu saat ini sudah banyak bank yang menerbitkan kartu kredit syariah.

Beberapa orang beranggapan bahwa bank syariah tidak perlu menerbitkan kartu kredit karena dianggap bisnis kartu kredit tidak sejalan dengan prinsip syariah. Namun Dewan Syariah Nasional (DSN) sudah mengeluarkan fatwa (DSN) No.54/DSN-MUI/X/2006 mengenai syariah card. Dalam fatwa tersebut yang dimaksud dengan syariah card adalah kartu yang berfungsi sebagai Kartu Kredit yang hubungan hukum (berdasarkan sistem yang sudah ada) antara para pihak berdasarkan prinsip syariah sebagaimana diatur dalam fatwa. Para pihak yang terlibat dalam penggunaan kartu kredit syariah tersebut adalah sama dengan kartu kredit konvensional, yakni penerbit kartu atau bank (mushdir al-bithaqah), pemegang kartu (hamil al-bithaqah) atau nasabah serta penerima kartu (merchant, tajir atau qabil al-bithaqah).

Ada 3 jenis akad dalam kartu kredit syariah, yaitu:
  1. Akad Kafalah, bank sebagai penerbit kartu bertindak sebagai penjamin (kafil) bagi pemegang kartu terhadap merchant atas semua kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari transaksi antara pemegang kartu dengan merchant, dan atau penarikan tunai selain bank atau ATM bank Penerbit Kartu. Dengan demikan dapat dikatakan bahwa merchant bertindak sebagai pihak penerima jaminan dari bank berdasar prinsip kafalah. Atas pemberian kafalah ini, penerbit kartu dapat menerima fee (ujrah) dari pemegang kartu.
  2. Akad Qard bank sebagai penerbit kartu bertindak selaku pemberi pinjaman (muqridh) kepada pemegang kartu (muqtaridh) melalui penarikan tunai dari bank atau ATM bank penerbit kartu.
  3. Akad Ijarah dimana penerbit kartu adalah penyedia jasa sistem pembayaran dan pelayanan terhadap pemegang kartu. Atas akad ijarah ini, pemegang kartu dikenakan membership fee. Semua fee yang ditetapkan pada kartu kredit syariah harus dinyatakan jumlahnya pada saat akad aplikasi kartu secara jelas dan nilainya tetap, kecuali untuk merchant fee.

Dengan demikian pemegang kartu kredit syariah akan dikenakan annual membership fee atau iuran tahunan atas dasar akad ijarah dan juga akan dikenakan monthly membership fee atau iuran bulanan atas dasar akad kafalah. Iuran bulanan ini nilainya tetap setiap bulan dan nilainya didasarkan atas nilai plafond kartu kredit syariah nasabah yang bersangkutan. Kalau di kartu kredit konvensional tidak ada iuran bulanan, Namun nasabah akan dikenakan bunga atas setiap transaksi yang dilakukan.

Contoh mengenai fee tersebut adalah misal nasabah mempunyai limit Rp. 10 juta dalam kartu kredit syariah tersebut. Nasabah akan dikenakan iuran bulanan sebesar Rp. 250.000. Berbeda dengan bank konvensional yang mengenakan bunga 3% hingga 4% per bulan atas transaksi yang dilakukannya.

Ada juga fee atas penarikan tunai di ATM. Dalam kartu kredit konvensional, jika Anda melakukan penarikan tunai melalui ATM akan dikenakan biaya administrasi dan bunga hingga 4% yang dihitung secara harian dari jumlah yang ditarik di ATM. Sedangkan dalam kartu kredit syariah, nasabah dapat melakukan hal yang sama dengan akad qard. Karena tidak ada sistem bunga, maka nasabah bebas dari bunga namun dikenakan fee atas pelayanan dan penggunaan fasilitas ATM yang besarnya tidak dikaitkan dengan jumlah pernarikan.

Contoh, nasabah menarik uang di ATM sebesar Rp. 1 juta. Bank akan mengenakan fee kepada nasabah sebesar Rp. 500.000

Kelebihan dari kartu kredit syariah adalah reward. Agar kartu kredit syariah ini tetap menarik dimata pemegang kartu maka bank akan memberikan cash rebate atau cash reward sesuai dengan pola transaksi yang dilakukan oleh nasabah. Sehingga jika nasabah menggunakan kartu kredit syariah untuk pembelanjaan, maka bank akan memberikan cash rebate atau cash reward atas dasar pola pembelanjaan dan pembayarannya.

Selain reward, kartu kredit syariah punya keunikan tersendiri yaitu dilarang membeli barang yang tidak halal. Misalnya saja Anda ingin membeli alkohol dengan menggunakan kartu kredit syariah. Hal itu tidak diperbolehkan oleh bank syariah, namun bank syariah masih belum bisa mendeteksi hal tersebut karena mesin EDC bank syariah masih bersatu dengan kartu kredit konvensional. Hanya saja saat mendaftar, nasabah diharuskan membuat surat pernyataan untuk menggunakan kartu kredit untuk transaksi yang diperbolehkan secara syariah. Jika nasabah belanja barang yang non halal menggunakan kartu kredit, maka menjadi tanggungan pihak nasabah.

Sumber:
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2010/09/21/kartu-kredit-syariah-kartu-kredit-tanpa-bunga-264473.html
http://bi.go.id